Kamis, 18 Juni 2015

Ichwan Azhari Dan Pergerakannya

Ichwan Azhari Dan Upaya Penyelamatan Artefak Penting Situs Kota China



Ichwan Azhari Bersama Edward McKinnon Yakni Arkeolog Penemu Situs Kota China



Ichwan Azhari Bersama Daniel Perret Dan Erond L. Damanik Melakukan Survey Lapangan Pra-Penelitian Arkeologi Di Situs Kota China


 

Dr. Phil. Ichwan Azhari, M.S. Pemilik Museum Situs Kota China, Medan Marelan

ADA 4 CANDI YANG BELUM TERGALI DI SITUS KOTA CHINA




TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Pendiri Museum Situs Kota Cina di Medan Marelan, Ichwan Azhari mengatakan, ada empat candi yang belum tergali di kawasan Situs Kota Cina, di Paluh Besar, Kelurahan Paya Pasir, Kecamatan Medan Marelan.
"Sejauh ini terkendala di penduduk yang enggan melepaskan lahannya. Penduduk mintanya Rp 1,4 m. Pemerintah hanya bisa Rp 800 juta berdasarkan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak). Saya bilang itu tak ternilai harganya," ujar Ichwan, Sabtu (18/4/2015).
Setelah gagal menego warga pada tahun 2010, Pemko Medan sampai saat ini tidak ada upaya untuk membebaskan lahan Situs Kota Cina.
"Penduduk, kan, berasalan karena mereka mikir mau tinggal di mana. Solusinya itu penduduk diberikanlah rumah. Sebagai penghargaan mereka sudah memberikan lahannya. Soal pekerjaan mereka yang selama ini nelayan, jadikan mereka pegawai. Sekolah anak mereka ditanggung. Itu semua gak seberapa. Kalau dihitung gak sampai Rp 2 miliar," kata Ichwan, menjelaskan potensi yang bisa diperoleh Pemko Medan jika serius mengelola Situs Kota Cina tersebut.
"Ini Candi abad-12 India Selatan lho. Bayangkan Indonesia, khususnya Medan, akan jadi Kota yang sangat prestisius kalau punya situs ini. Emas di situ pun ada," tambahnya.
Ichwan mengaku sejauh ini masih mempertahankan Situs Kota Cina di Marelan agar tak jatuh ke tangan asing.
"Singapura sudah mulai mendatangi saya. Mereka bersedia untuk mengambil alih museum itu. Mereka juga meminta jalur untuk bisa membeli tanah itu. Karena Danau Siombak kan sudah jatuh ke tangan Malaysia. Dan Singapura mau menguasai itu menjadi Kota Wisata. Mau diintegrasikan dengan danau itu. Mereka (Singapura) udah tiga kali datangi saya. Dan sudah bawa uang untuk tanah itu. Tapi saya mencegah. Karena saya bilang pemerintah yang mau membeli. Tapi pemerintah kita sendiri sampai sekarang gak peduli. Mungkin gak mengerti betapa berharganya ini," katanya.
Menurut Ichwan, Singapura tak main-main dengan minatnya terhadap situs tersebut.
"Karena mereka sebagian udah ada di sana. Dalam dunia perdagangan antik. Semua keramik utuh yang ada di Kota Cina ada di Singapura. Harganya luar biasa. Dan mereka mau melengkapinya dari sini," katanya.
 Oleh : http://medan.tribunnews.com/2015/04/18/ada-4-candi-yang-belum-tergali-di-situs-kota-cina-di-medan?page=2

Ichwan Azhari : Karo Bukan Batak

       
Kemarin [Kamis 7/5], diadakan seminar mengenai Jejak-jejak Heroisme Masyarakat Karo dalam Perspektif Historis di Hotel Green Garden, Berastagi. Salah satu pemrasaran adalah Dr. Ichwan Azhari MPhil (Unimed) yang memaparkan “Heroisme Karo di Kerajaan Haru Abad 12-16″. Di bawah ini, antropolog Terbit Pandia SSos menuangkan kembali isi pemaparan Ichwan Azhari.
          Kontribusi orang Karo terhadap Kerajaan Haru yang berdiri selama lebih 400 tahun (Abad 12-15 M) cukup besar. Haru adalah kerajaan besar yang sangat mempengaruhi kawasan Asia Tenggara di zamannya, terutama di dalam perdagangan komoditi internasional. Sisa kejayaan masih bisa dilihat di Sukanalu (Dataran Tinggi Karo) dan Istana Maimun (Medan). Di Abad 12, Karo bukanlah suku sembarangan. Semua hasil komoditi internasional yang berasal dari Pantai Timur Sumatera harus melalui Haru.
         Bukti Kebesaran Haru adalah di dalam Sumpah Palapa oleh Patih Gajah Mada ada tertulis mengenai Haru yang diusahakan oleh Gajah Mada untuk ditaklukkan. Artinya, Haru telah lama dikenal oleh bangsa-bangsa besar di dunia dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain yang ada di Sumatera. Dahulu, letak Haru adalah di Kota Hamparan Perak sekarang ini. Ketika Majapahit menyerbu Haru, kekuatannya menarik diri ke daerah Delitua sekarang.
        Sejarah Haru adalah bagian dari sejarah dunia. Ini merupakan bukti orang Karo sudah sangat lama sekali berhubungan dengan bangsa asing yaitu dari segi bahasa, terutama dengan bangsa India Selatan atau Tamil. Masuknya kata tiga ke perbendaharaan bahasa Karo, seperti Tiga Binanga, Tiga Pancur, Tiga Jumpa, Tiga Nderket, dan Tiga Panah.
         Kata tiga yang ini bukan dari bahasa Melayu, Indonesia atau Karo sendiri, namun dari bahasa Tamil Kuno dari Abad 8 M yang dibawa pedagang Tamil melalui Pantai Barat Sumatera, yaitu Barus sekitar Abad 12-13 M. Tiga artinya pasar atau tempat jual beli. Ini menunjukkan hubungan Suku Karo dengan bangsa asing sudah sangat lama. Ini juga memperlihatkan Suku Karo sudah lama sekali hadir di Sumatera, dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.
        Orang Karo sebenarnya sangat banyak jumlahnya karna mendiami dan mempengaruhi daerah yang sangat luas, mulai dari Pantai Timur Sumatera terus ke Sipis-pis di sekitar Tebing Tinggi serta Langkat, Dataran Tinggi Karo, Karo Baluren, Alas dan Gayo. Bukti pengaruh Karo, adanya nama Kutaraja, Kutacane.
       Baru-baru ini, seorang ahli Arkeologi dan Sejarah dari Medan yang bernama Ketut Wiradnyana mengadakan penelitian laboratorium tentang DNA orang-orang Karo, Gayo dan Alas. Hasilnya, bahwa DNA orang-orang Karo, Gayo dan Alas memiliki hubungan yang sangat kuat dengan DNA dari fosil tulang belulang manusia purba di Gayo.
        Terungkaplah kebudayaan nenek moyang mereka sudah sangat tua, berumur ribuan tahun. Ketika DNA orang-orang Karo dicari hubungannya dengan DNA bangsa lain seperti Toba (Batak), hasilnya adalah nihil, nol, kosong alias sama sekali tidak ada kaitan darah/ genetis antara bangsa Toba (Batak) dengan bangsa Karo.
         Belakangan, diadakan juga penelitian di daerah asal mula bangsa Batak, di kaki Gunung Pusuk Buhit, Sianjur Mula-mula. Dari hasil penelitian ini didapat kesimpulan bahwa kebudayaan mereka baru berumur lebih kurang 300 tahun.
         Kata Batak pada mulanya muncul sewaktu bangsa Orientalis datang ke Sumatera melalui Pantai Timur Sumatera. Waktu mereka datang, penduduk di pesisir sudah banyak memeluk agama Islam. Lalu, bangsa Oriental ini melihat juga ada bangsa lain, bangsa pedalaman yang agak berbeda dengan penduduk pesisir yang beragama. Mereka bertanya kepada penduduk pesisir tentang bangsa pedalaman tersebut, mereka menyebutnya Batak.
       Selanjutnya, orang-orang bangsa Orientalis ini bertemu dengan bangsa-bangsa lain yang juga belum beragama seperti Toba, Karo dan Simalungun. Maka kata Batak disematkan kepada semua bangsa tadi menjadi Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, dan lain-lain karena waktu itu mereka belum beragama. Artinya, seluruh areal pedalaman yang didiami oleh bangsa-bangsa yang jauh dari pesisir dinamailah daerah Batak, oleh bangsa Orientalis.