Kemarin [Kamis 7/5], diadakan seminar mengenai Jejak-jejak Heroisme Masyarakat Karo dalam Perspektif Historis di Hotel Green Garden, Berastagi. Salah satu pemrasaran adalah Dr. Ichwan Azhari
MPhil (Unimed) yang memaparkan “Heroisme Karo di Kerajaan Haru Abad
12-16″. Di bawah ini, antropolog Terbit Pandia SSos menuangkan kembali
isi pemaparan Ichwan Azhari.
Kontribusi orang Karo terhadap Kerajaan
Haru yang berdiri selama lebih 400 tahun (Abad 12-15 M) cukup besar.
Haru adalah kerajaan besar yang sangat mempengaruhi kawasan Asia
Tenggara di zamannya, terutama di dalam perdagangan komoditi
internasional. Sisa kejayaan masih bisa dilihat di Sukanalu (Dataran
Tinggi Karo) dan Istana Maimun (Medan). Di Abad 12, Karo bukanlah suku
sembarangan. Semua hasil komoditi internasional yang berasal dari Pantai
Timur Sumatera harus melalui Haru.
Bukti Kebesaran Haru adalah di dalam
Sumpah Palapa oleh Patih Gajah Mada ada tertulis mengenai Haru yang
diusahakan oleh Gajah Mada untuk ditaklukkan. Artinya, Haru telah lama
dikenal oleh bangsa-bangsa besar di dunia dibandingkan dengan
bangsa-bangsa lain yang ada di Sumatera. Dahulu, letak Haru adalah di
Kota Hamparan Perak sekarang ini. Ketika Majapahit menyerbu Haru,
kekuatannya menarik diri ke daerah Delitua sekarang.
Sejarah Haru adalah bagian dari sejarah
dunia. Ini merupakan bukti orang Karo sudah sangat lama sekali
berhubungan dengan bangsa asing yaitu dari segi bahasa, terutama dengan
bangsa India Selatan atau Tamil. Masuknya kata tiga ke perbendaharaan bahasa Karo, seperti Tiga Binanga, Tiga Pancur, Tiga Jumpa, Tiga Nderket, dan Tiga Panah.
Kata tiga yang ini bukan dari
bahasa Melayu, Indonesia atau Karo sendiri, namun dari bahasa Tamil Kuno
dari Abad 8 M yang dibawa pedagang Tamil melalui Pantai Barat Sumatera,
yaitu Barus sekitar Abad 12-13 M. Tiga artinya pasar
atau tempat jual beli. Ini menunjukkan hubungan Suku Karo dengan bangsa
asing sudah sangat lama. Ini juga memperlihatkan Suku Karo sudah lama
sekali hadir di Sumatera, dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.
Orang Karo sebenarnya sangat banyak
jumlahnya karna mendiami dan mempengaruhi daerah yang sangat luas, mulai
dari Pantai Timur Sumatera terus ke Sipis-pis di sekitar Tebing Tinggi
serta Langkat, Dataran Tinggi Karo, Karo Baluren, Alas dan Gayo. Bukti
pengaruh Karo, adanya nama Kutaraja, Kutacane.
Baru-baru ini, seorang ahli Arkeologi
dan Sejarah dari Medan yang bernama Ketut Wiradnyana mengadakan
penelitian laboratorium tentang DNA orang-orang Karo, Gayo dan Alas.
Hasilnya, bahwa DNA orang-orang Karo, Gayo dan Alas memiliki hubungan
yang sangat kuat dengan DNA dari fosil tulang belulang manusia purba di
Gayo.
Terungkaplah kebudayaan nenek moyang
mereka sudah sangat tua, berumur ribuan tahun. Ketika DNA orang-orang
Karo dicari hubungannya dengan DNA bangsa lain seperti Toba (Batak),
hasilnya adalah nihil, nol, kosong alias sama sekali tidak ada kaitan
darah/ genetis antara bangsa Toba (Batak) dengan bangsa Karo.
Belakangan, diadakan juga penelitian di
daerah asal mula bangsa Batak, di kaki Gunung Pusuk Buhit, Sianjur
Mula-mula. Dari hasil penelitian ini didapat kesimpulan bahwa kebudayaan
mereka baru berumur lebih kurang 300 tahun.
Kata Batak pada mulanya muncul sewaktu
bangsa Orientalis datang ke Sumatera melalui Pantai Timur Sumatera.
Waktu mereka datang, penduduk di pesisir sudah banyak memeluk agama
Islam. Lalu, bangsa Oriental ini melihat juga ada bangsa lain, bangsa
pedalaman yang agak berbeda dengan penduduk pesisir yang
beragama. Mereka bertanya kepada penduduk pesisir tentang bangsa
pedalaman tersebut, mereka menyebutnya Batak.
Selanjutnya, orang-orang bangsa
Orientalis ini bertemu dengan bangsa-bangsa lain yang juga belum
beragama seperti Toba, Karo dan Simalungun. Maka kata Batak disematkan
kepada semua bangsa tadi menjadi Batak Toba, Batak Karo, Batak
Simalungun, dan lain-lain karena waktu itu mereka belum beragama.
Artinya, seluruh areal pedalaman yang didiami oleh bangsa-bangsa yang
jauh dari pesisir dinamailah daerah Batak, oleh bangsa Orientalis.